Perjalanan Itu Bernama Perjuangan

>> Sabtu, 28 Maret 2009



The RoadJalan
Cormac McCarthy

Harga:Rp 35.000,- *
Ukuran:13.5 x 20 cm
Tebal:264 halaman
Terbit:Januari 2009
Seorang ayah dan anak lelakinya yang masih kecil berjalan melintasi Amerika yang telah hangus terbakar, mengarah perlahan-lahan ke wilayah pantai. Tak ada yang bergerak di lanskap yang telah rusak binasa itu, selain abu yang tertiup angin. Mereka tak punya apa-apa selain sepucuk pistol untuk membela diri dari orang-orang yang mengintai di jalan, pakaian yang melekat di badan, satu kereta berisi makanan-makanan sisa---dan satu sama lain. Pemenang Pulitzer Prize untuk kategori Fiksi, salah satu pilihan Oprah's Book Club, finalis National Book Critics Circle Award.
my Comment:
Novel ini, disajikan dalam bentuk yang berbeda.... Sebuah perjalanan yang menggugah bahwa manusia hanyalah makhluk kecil, rakus, dan cenderung tak ingin membebankan dirinya dengan hal-hal tak penting
Sebuah akhir yang menyedihkan... Novel ini mengajarkan padaku, bahwa hidup adalah kesendirian yang tak berarti kesendirian

Read more...

Kehidupan Itu tentang Kiamat


aku kenal seseorang!!!

mereka membinasakanku dalam api neraka!!!

me

reka memakan tulang-belulangku!!!

Layaknya anjing kelaparan!!!



Read more...

Air Api

air api, angin bumi, seolah tak ada habisnya menentang kehidupan negeri kita!!! apa yang sebenarnya telah kita pebuat?? tanyakan pada hatimu !!

adakah kalian berhutang kemarahan terhadap alam? terakhir air bah menghantam kehidupan di Tangerang..
orang pontang-panting menyelamatkan diri dari serbuan air.. subuh itu, cerita kehidupan mereka dimulai dari genangan mahadahsyat tanggul Situ Gintung yang jebol... mengusik ketenangan masyarakat Tangerang yang seharusnya ketika itu akan bersiap-siap melaksanakan shalat subuh...........

Ya Allah, kau belum menghilangkan duka kami mengenai cerita-cerita bencana masa lalu... kau masih membenamkan kehidupan kami dalam lumpur yang maha dahsyat.....

what should we do????

Allahu Akbar! Allahu Akbar!!

Read more...

KupuKupu

>> Selasa, 24 Maret 2009



di sana, cerita itu dimulai
sejak kau membeli parfum
bau mawar

kau membeli pupuk
dan kau menanamkan sayap di punggungku
lalu ia tumbuh
seperti luka

hei, lihat

aku harus bicara denganmu
lewat acara televisi

lalu kau hanya lewat
tak memerhatikan
dan aku diam seperti kamera itu

sejak lama
tapi aku adalah kupu-kupu putih
terbang hanya sekilas pandang

dan apa yang kau harapkan dariku
sebuah kata
sebuah makna?

dan sayap yang kau tanam itu
tumbuh secara perlahan

seperti luka

Read more...

Pandangan Pertama, Awal Aku berjumpa

Katakan saja.
Aku hanya perlu menerka.

Ah, jangan menyanyilah.

Aku sudah pernah dengar.
Mungkin itu pandangan pertama.

Persis cinta pertama.

Pandangan pertama, awal aku berjumpa.
Pandangan pertama, awal aku berjumpa.
Pandangan pertama, awal aku berjumpa.
Pandangan pertama, awal aku berjumpa.
Pandangan pertama, awal aku berjumpa.
Pandangan pertama, awal aku berjumpa.
Pandangan pertama, awal aku berjumpa.

Angka belasan….

Aku tak ingat tentang hari itu.

Da da.

Read more...

The Prayer

>> Sabtu, 21 Maret 2009

Read more...

dis is mi


Alloohaaa...me and mine

Read more...

Gunung Gagu

>> Jumat, 20 Maret 2009

gunung gagu merambah musim panas
orang-orang tak mau bicara
sampai hujan datang kembali
sekawanan kerbau berburu
katak buat mainan anak-anak
dan kau adalah mawar yang tawar
karena orang-orang memberi
makan kelelawar

habislah sisa jasadmu
mereka makan seperti orang kelaparan
menarik cacing-cacing dari sarangnya
sebagai pengganti mi pagi hari
sementara pagi terus tak mau pulang
paling tidak supaya bulan
bisa menjadi satpam malam ini
tak lagi matahari
tak lagi burung-burung yang lupa bernapas

seperti pagi ini
di mana gunung gagu merambah musim panas

Read more...

Somnambulis

rangkaian pagi merajut sebagian jantung
ketika daun kutangkup ketika mereka berguguran

ada sepasang sepatu berjalan sambil tidur
membawa kasur
dan bantal

kemudian entah aku melihat
lemari insomnia
dan sikat yang riuh
parasomnia

satu satu domba melayang di kepalaku
melompati saraf dan aku masih belum tidur

mungkin membayangkan bayangan pagi ini

Read more...

Gerhana


malam itu aku melihat gerhana…
setidaknya di wajahmu itu…
aku melihat hantu menyanyi ngeri

lagu makam terang karena lampu

bebatu, sangkal seperti oval
baunya serupa kemenyan campur tangan

gerhana, setidaknya matamu berkorona
serupa anjing-anjing melolong

2008

Read more...

Hujan untuk Penyair

Maka malam itu ia mulai menulis puisi: tentang bagaimana caranya tertawa. Buku pertamanya adalah suara tentang seorang perempuan. Dia, adalah lelaki yang tak pernah diajarkan tertawa. Beberapa hal tentang Rindo adalah beberapa hal mengenai malam. Ia tak pernah percaya kehidupan kecilnya menghadapi masa-masa yang aneh. Tak bisa ia bayangkan bahwa kesulitan itu berubah menjadi puisi-puisi di buku antaloginya.
Sebenarnya Rindo memiliki banyak waktu untuk menjumpai anak dan mantan isterinya. Pagi, siang, sore, malam, pagi lagi hingga menjadi pagi yang tak terlupakan. Anaknya seperti tak pernah mengenal ayah sama sekali. Katanya, ayah adalah wujud imajiner hanya pada mimpinya saja. Itupun, kalau ia bermimpi buruk saja. Isterinya, Karine, tak bisa berbuat apa-apa selain menggendong dan membawa masuk anaknya ke rumah. Lantas ia akan ditinggal sendiri di teras rumah itu.
Maka, puisi untuk malam ini, adalah mengenai anak ayam yang dilahirkan tanpa induk. Ia terlahir dari batu. Menelisip dari angin. Mengeluarkan suara lewat cairan dari jantungnya. Matanya terbuka persis naga yang mengintip dari lubang dinding milik anak-anak yang ketakutan. Gelap melakukan agresi sadis. Menyerang tanpa ampun anak-anak di dalam rumah tanpa mengenal tidur. Naga-naga itu, kini, telah berubah di jantung Rindo.
Padahal anaknya masih tiga tahun. Ia bercerai dengan isterinya baru tiga bulan. Dan selama tiga bulan itu ia tak pernah dikenal oleh anaknya. Sepertinya kekecewaannya mulai runtuh menjadi penyesalan. Tak disangka pagi tadi anaknya bahkan melemparkan sandal padanya. Kalau tidak dicegah oleh Karine, maka ia akan pulang berdarah-darah karena dilempar batu bata oleh anaknya.
Entah apa yang ia lupakan dari sejarah lamanya. Iapun dalam sekejap menderita amnesia akut. Tak ingat nama anaknya. Tak ingat nama isterinya. Lebih parah, ia tak ingat sejarah pernikahannya bersama isterinya. Ia hanya ingat tentang puisi-puisinya. Secara keseluruhan, puisi itu menjadi isteri pengganti setelah Karine melupakan Rindo. Paling tidak ia akan bergairah mendengar puisinya tentang hujan. Ia berkiblat pada kesedihan hujan. Karena malam itu, adalah malam terakhirnya menulis sebuah puisi.
***

Sangat pagi sekali, Rindo menemui Karine di simpang rumahnya. Malam tadi ia menelepon Rindo, ingin bertemu. Pelukan singkat itu rupanya cuma pengantar basa-basi untuk mengusir dingin. Karena bekas-bekas hujan tak menyisakan kehangatan buat mereka berdua. Keduanya duduk di warung yang masih kosong. Masih gelap. Tapi mereka masih bisa bersenda gurau yang sekali lagi cuma untuk mengusir kekikukan saja.
“Ternyata kau masih belum banyak berubah, ya.”
“Ya, begitulah. Dalam banyak hal aku memang tidak berubah.”
“Tapi sepertinya kau makin sering menulis, ya.”
“Ya, begitulah. Dalam beberapa sisi, menulis menjadi bagian hidupku.”
“Ah, ternyata kau masih romantis, ya.”
“Ya, begi……” suaranya tercekat. Ia melihat perbedaan. Sangat mengerikan. Persis wajahnya yang sangat menyedihkan.
Dari sudut-sudut paling gelap, ia tak melupakan Karine. Tapi sepertinya Karine cepat melupakannya. Suaranya semakin mengecil. Ia berbicara seperti berbisik saja hingga Karine perlu menanyakan hal yang sama berulang kali. Dari berbagai sisi, siluet mereka terlihat sangat tidak sempurna. Garis-garis lukis yang tak tepat. Titik vertikal dan horizontal yang mengambang seperti hantu gentayangan. Sama seperti pembicaraan mereka yang tak pernah mau menyinggung pokok persoalan. Pada akhirnya, mereka cuma membicarakan kebiasaan sehari-hari, pekerjaan, cara makan atau minum, jam berapa mereka tidur dan bangun, hingga cara mereka mengungkapkan kerinduan.
Rindo, untuk terakhir kalinya–pagi itu–melihat Karine mengenakan kalung pemberiannya sewaktu mereka belum menikah. Karine mengembalikannya lagi. Alasannya:
“Aku takut kalung ini akan membuatku tak sanggup jika harus kehilangan kamu, Rindo.”
Kecupan yang sederhana mendarat di kening Rindo. Kecupan dari mantan isteri kepada mantasn suaminya yang selalu ingin kembali ke sejarah pernikahannya. Sudut-sudut matanya menyisakan rekaman saat-saat terakhir ketika mereka harus meninggalkan rumah mereka dan menempati rumah baru. Entah apa maksudnya mereka meninggalkan rumah itu dan membeli rumah baru. Yang pasti, keduanya sepakat untuk tidak pernah mengungkit-ngungkit lagi soal rumah itu. Terlalu banyak foto yang bercerita tentang kesedihan di sana. Bahkan tak ada satu bendapun yang mereka bawa dari rumah itu. pakaian mereka yang pertama adalah saat pertama kali mereka meninggalkan rumah itu. mungkin mereka sudah terserang rasa cinta yang sangat akut hingga sulit melepaskan kenangan dari benda-benda di rumah itu.
Rindo kembali ke rumahnya. Tak melanjutkan puisinya. Tak berniat berpikir tentang syair-syair yang bermakna. Ia hanya ingin memikirkan sejarah itu. Sulit untuk menghapal kembali sejarah yang hilang. Tak ada buku panduan soal itu. maka, Rindopun berniat mengurusi rumahnya. Dalam sehari ia bisa menjadi ibu rumah tangga yang rajin. Rumah disapu, dipel, piring-piring dicuci, pakaian ia cuci bersih. Dijemur di bawah sinar matahari pagi. Menyapa orang-orang yang lewat saat menjemur pakaian. Membeli sayuran dan memasak makanan yang enak. Seperti menjamu tamu yang istimewa. Tapi, ya, itu memang benar. setiap hari adalah keistimewaan baginya. Ia berpikir, Karine dan anaknya akan kembali ke rumahnya setelah mereka saling bertemu. Ia memikirkan sesuatu yang tak pernah terpikirkan orang lain. Bahwa Karine akan kembali dengan anaknya atau tidak sama sekali adalah urusan yang sangat sakral. Harus ada perayaan setiap hari. Karena sewaktu-sewaktu Karine bisa saja datang ke rumahnya dan menyatakan cinta dengan wajah penuh penyesalan.
Ia juga berharap anaknya mau berlari ke arahnya dan meminta pelukan hangatnya setelah sekian lama ia tak memberikan pelukan hangat itu. Ia ingin bermain bola dengan anaknya sehingga ia lupa menulis di buku harian. Mimpi yang indah mengingat semua makanan enak itu dibuat dari rasa cinta.
Setelah Rindo menyusun peralatan makan dan makanan di meja makan, ia duduk di kursi paling ujung. Kursi itu menghadap pintu depan. Ia sengaja meletakkan ruang makan di depan pintu agar ia bisa melihat Karine terkejut dengan semua masakan enaknya. Apalagi jika setelah itu ia mendapat kecupan mesra yang sulit dilupakan.
Ya, tapi benar, manusia memang bisa berharap banyak. Tapi Karine memang tak bisa dibaca kemauannya. Sulit menentukan apakah Karine akan kembali atau tidak. Rindo sudah menunggu lama di kursi itu. Dan Karine–pada ahri–tak memutuskan untuk kembali.
***

Rindo melihat buku catatan di atas meja kerjanya. Ia tahu bahwa itu puisi yang belum sempat ia selesaikan. Ia terlalu sibuk memikirkan rumus-rumus inspirasi dalam otaknya. Tak ada yang bisa dilakukannya selain berpikir sambil mondar-mandir di depan pintu. Rindo sedang mengalami keputusan yang sulit karena tiba-tiba saja ia ingin sekali kembali ke rumah lamanya. Tapi itu tidak benar. rumah lamanya itu benar-benar sudah lama ia lupakan. Ketidak-benaran itu ia putuskan setelah ia berpikir tentang konsekuensi yang mungkin terjadi. Rumah itu tua. Ia takut rumah itu akan menimpanya karena konstruksinya yang sudah tidak simetris.
Namun keinginan untuk kembali itu terlalu kuat. Jantungnya berdetak kencang. Dalam waktu sesaat, ia sudah bertempur dengan dirinya di sisi lain. Sisi di mana ia memutuskan untuk tidak pergi dan sisi ketika ia benar-benar ingin mengambil sesutu di rumah itu.
Tiba-tiba, amnesia akutnya semakin parah. Ia tak bisa menentukan langkah pertamanya dengan kaki apa karena ia lupa berjalan. Seingatnya tak pernah ada orang yang mengajarkannya berjalan. Ia berjalan karena ingin berjalan. Ia berbicara karena ia memang ingin berbicara. Semua tindakan pengajaran tak mempengaruhi cara ia belajar. Ia terbiasa melakukan semua sendiri. Bahkan memukul anaknya ia bisa melakukannya sendiri. Lebih sadis malah. Ia tak perlu bantuan Karine. Tapi itulah titik perpisahan sesungguhnya. Karena Karine seorang ibu yang tak bisa terus-menerus bersikap sadis kepada anaknya, sementara Rindo, ayah yang tak bisa melepaskan kecenderungannya untuk memukul anaknya tanpa alasan, membuat mereka terpisah ribuan kilometer.
Sangat jauh. Hingga cukup alasan baginya untuk kembali ke rumah itu. Apa yang salah? Itu tindakan yan lazim dilakukan seseorang jika ia ingin mengingat sesuatu. Tempat-tempat menyenangkan adalah tempat yang cocok untuk mengembalikan ingatan masa lalu. Tak ada yang harus dipermasalahkan. Maka, ketika keinginannya semakin kuat, tak ada alasan untuk tidak pergi.
Ia ingin sampai secepatnya. Karena ia masih berpikir bahwa Karine akan datang ke rumahnya. Ia harus melakukan tindakan ini sebaiknya agar ia tidak kembali lagi. Ada beberapa daftar benda-benda yang harus ia ambil di sana. Semua terencana dengan baik. Bahkan ia sudah memikrikan tindakan apa yang akan ia lakukan ketika sudah sampai. Dari mulai ia menginjakkan kakinya di pintu gerbang hingga ia kembali ke mobilnya membawa barang-barang kenangannya. Semua sudah terpikir di kepalanya. Tinggal bagaimana cara aman ia melakukannya agar ia tak tertimpa dinding yang rapuh.
Tak disangka, rumah itu kini memang benar-benar tua. Tak ada yang mengurusnya lagi. Kursi tamannya sudah hancur. Tak memiliki bentuk yang tetap. Tapi ia bisa tahu bagaimana anaknya menangis kesakitan saat ia memukulnya di dekat kursi itu. Menyedihkan mengingat suara tangisan itu masih bisa ia dengar dengan samar-samar. Pohon-pohon saat ia mengantungkan lampu di malam natal. Ada juga lampu gantung di langit-langit yang ternyata lampunya sudah tak ada. Mereka bertransformasi menjadi sebuah kesdihan.
Tapi, lagi-lagi suara Rindo tercekat. Suara-suara kenangan itu tak terdengar. Paling tidak sedikit tidak terdengar jelas karena mungkin mereka takut menghampiri Karine yang berdiri di depan cermin sejak tadi. Ia tahu Rindo datang. Mereka saling diam. Tak berbicara. Entah karena mereka telah melanggar janji atau kembali bertemu di tempat sakral ini.
“Jadi kau ke sini juga, ya.”
“Ya, begitulah. Dalam beberapa kemungkinan, tempat ini menarikku ke sini.”
“Aku masih senang dengan rumah itu.”
“Ya. Semua bisa dilakukan di rumah ini.”
Karine menghadap ke cermin lagi.
“Ah, pantulannya sudah tidak sempurna.” Entah itu memang benar atau ia sedih melihat wajahnya tak secerah dulu.
“Benar.”
“Aku mungkin tak sama seperti dulu. Tapi paling tidak, aku merasa lebih baik karena anak kita sudah mau menerimaku.”
Rindo menangguk.
“Apa ia mau menerimaku?”
“Entahlah. Kau tidak pernah melihat kami lagi. Aku tidak bisa menjawab.”
“Ya, benar. Maafkan aku. Aku hanya takut menerima kenyataan bahwa ia tak mau menerimaku lagi.”
“Semua anak pasti begitu.”
Rindo tercekat.
“Apa maksudmu?”
“Dia masih trauma dengan peristiwa masa lalu. Hal itu membuatnya sakit-sakitan. Tapi, entah ini kabar baik atau tidak, ia sering menjeritkan namamu dalam mimpinya.”
“Oh, benarkah begitu?”
“Ya, ia tampak ketakutan…..ketika….menyebut, namamu.”
“Oh, ya, benar. Memang seharusnya begitu.” Rindo menunduk.
“Aku bertanya padanya, katanya ia ingin bertemu denganmu.”
“Benarkah?”
“Sebenarnya ia mengucapkannya dengan cara berbeda.”
“Maksudmu?”
“Aku melihatnya menggigil. Ia meremas tangannya.”
“Oh, aku tahu. Aku tahu itu.”
“Baiklah, Rindo. Aku ingin tahu apa yang kau lakukan di sini.”
“Tidak. Sama sepertimu. Melihat-lihat.”
“Tidak. Aku tidak ingin melihat-lihat, Rindo. Aku ingin mengambil beberapa benda milik Teo di sini.”
“Oh, begitukah?”
“Ia yang menyuruhku ke sini.”
“Apa ia ikut denganmu, Karine?”
“Tidak. Ia sedang bersama orang lain di rumah.”
Ya, tentu. Orang lain. Rindo bisa memahami itu. Nenek Teo sangat menyayanginya. Ia akan sangat senang menjaga Teo sepanjang hari.
Setelah mengambil beberapa benda, Karine meninggalkan rumah itu. Ia pamit. Dan untuk terakhir kalinya, Rindo mengamati wajahnya yang terlihat bersahabat dengannya. Berarti malam ini, Rindo harus memasak makanan enak lagi.
***

Ia sudah menyiapkan peralatan makan. Makanan yang enak sudah ia masak. Rumah sudah ia rapikan. Dan ia tinggal menunggu Karine mengetuk pintu. Seperti biasa, Rindo duduk di kursi paling ujung yang menghadap ke pintu. Sudah saatnya ia membiarkan dirinya hanyut dalam harapan yang besar. Dan itu memang benar-benar terjadi. Beberapa lama kemudian, Karine datang. Ia tahu karena ketukannya yang khas. Karine akan mengetuk dengan dinamika yang lembut dan tempo yang sangat lambat. Sangat mudah dikenal.
Tapi, lagi-lagi ia tercekat. Ia tak menyangka Karine tak membawa serta Teo. Anak itu hanya melihatnya di balik kaca mobil. Karine bilang, ia tak mau keluar. Mengerikannya lagi, tak ada niat lain yang ingin disampaikan Karine kecuali niat perpisahan. Betapa bodohnya Rindo saat ia mengharapkan Karine agar kembali padanya padahal ia bisa menikah dengan orang yang lebih baik daripadanya.
Namanya Harri.
Laki-laki itu jelas lebih mudah untuk diajak kompromi. Lebih sahabat. Dan lebih pantas berdiri di samping Karine. Ia murah senyum. Dan ia, akan membawa Karine ke luar negeri.
“Kami sudah menikah.”
***

Malam itu, hujan lebat. Rindo melihat sebuah catatan tergeletak di atas meja kerjanya. Ia tahu itu puisi yang belum sempat ia selesaikan. Maka, ia memilih untuk menyelesaikan. Syair-syair tentang hujan itu berdiri di dalam hujan yang berjatuhan. Sangat deras. Seolah-olah hujan itu memang disiapkan untuk Rindo agar ia mau menulis puisi lagi.

Lubukpakam, 2009

Read more...

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP