Ketika dan Kau Menjauh

>> Rabu, 24 Juni 2009

dan.....sungai itu menjauh dariku
ia menginginkan air yang lebih dingin...
sepertinya hujan akan membasahinya...
tapi, hujan seperti apa??

hujan hitam, matanya terbenam
aku tak bisa mengulang kata
sebuah makna
tapi ia tak bisa


apa???

ketika dan sepertinya mereka semakin jauh...
aku terbangun dan melihat mereka tergugu

Read more...

Kapan dan Di mana Kiamat?

>> Selasa, 09 Juni 2009

menurutmu, apa kiamat akan terjadi tahun depan, bulan ini, minggu ini, atau hari ini ketika kalian tengah tertidur?
satu hal yang pasti muncul dalam benak kita adalah: hanya tuhan yang tahu.
coba kalian pikir, bumi ini setiap harinya mengalami proses adaptasi dengan keadaan di sekitarnya. ia bertransformasi ke dalam hal-hal yang tak lazim. sudah banyak kita temukan keajaiban menjelang kiamat. kalian tahu tsunami di Aceh. aku tak perlu ceritakan hal itu. tsunami adalah bentuka kemarahan tuhan di mana salah satu prajuritnya (yaitu air, dari tiga lainnya: api, angin, dan bumi) telah diutus untuk menginformasikan kedatangan kiamat. kejadian-kejadian seperti munculnya lafaz-lafaz tak lazim adalah peringatan agar manusia senantiasa mengingat tuhannya.

kemunculan-kemunculan itu adalah sisi lain dari akan datangnya kiamat entah kapan dan dimulai dari mana.
sesuatu yang tidak dapat dipastikan itu akan muncul tiba-tiba. mencekik leher kita. memanggang tubuh kita dan mengukus kehidupan kita hingga kita benar-benar menyadari bahwa kiamat.....adalah hari ini!!!

Read more...

Sebutir Peluru

>> Jumat, 29 Mei 2009





Aku tahu setiap manusia pasti akan mengalami kematian. Aku juga tahu, bahwa di balik kematian akan ada kebahagian. Tapi, bagaimana jika kematian itu terlalu menyakitkan? Mungkin aku akan siap terjun bebas ke jurang. Melupakan segala hal yang rumit dalam pikiranku.
Sejenak, aku memang terdiam. Tanpa ada yang tahu, aku melamun begitu jauh. Aku tak mengerti kenapa orang-orang membaca yasin. Aku juga tak pernah tahu, kenapa orang-orang berdatangan cuma untuk membaca sebaris kata-kata asing lalu pulang tanpa ada kata.atau paling tidak ucapan duka cita. Atau apalah. Begitukah tradisinya? Aku tetap tak mengerti.
Ketika semua orang pulang, aku berlari ke dalam kamar. Menangis sejadi-jadinya. Bahkan mengutuk Tuhan tanpa ada sesuatu yang disembuyikan. Aku melempar jilbabku. Mengacak-ngacak rambutku. Berjingkrakan di atas tempat tidur.
Aku sudah gila!
Kupikir.
Tapi sanggupkah kegilaan mengalahkan kelakuanku akhir-akhir ini. Lantas kenapa perang tak pernah memberi kesempatan buat orang hidup bahagia. Kenapa perang selalu mencipta suara ribut; dan berakhir pada sebuah tangisan. Sejak tadi, ketika orang-orang membereskan rumah, aku justru membereskan diri dari linangan airmata. Begitu senyap. Kamarku sangat sepi. Aku tahu orang-orang pasti mendengar suara ribut yang kuciptakan. Tapi mereka juga tahu, sangat pantang mengetuk pintu ketika aku mengamuk.
Dalam seminggu ini, mungkin aku sudah mengamuk puluhan kali. Mungkin sudah banyak orang kukutuk. Aku bahkan tak pernah lagi menyentuh Al Qur'an. Apalagi membacanya. Tapi dalam hal-hal lain, aku malah gemar melakukannya. Seperti keluar malam. Lalu pulang keesokan harinya. Aku sering membuka jilbabku ketika kupikir perjalananku tidak terlalu jauh.
Orang-orang memang terlalu aneh melihatku. Kenapa tidak? Aku, yang dulu, begitu sopan dalam berpakaian dan berperilaku, berubah menjadi anak hutan. Seisi kepalaku terisi semak belukar. Tanpa ada benteng, aku bebas keluar masuk. Bahkan ke area-area terlarang sekalipun.
Kematian terlalu membuatku sakit hati. Juga sangat membuatku takut. Terlampau jauh dia menyeretku hingga jauh dari Tuhan. Allah Yang Maha Perkasa. Seperti yang kubilang, perang tak pernah menyisakan kehidupan. Begitu juga dengan peluru-peluru yang berdesing. Meski terjadi beribu-ribu mil dari sini, tapi desingan itu sangat mengangguku. Begitu mengangguku hingga aku terlalu sering menutup telinga. Darah-darah yang bergelimpangan; juga mayat-mayat di sana-sini membuatku takut untuk kelihat dunia. Maka, aku sangat suka menutup mata akhir-akhir ini.
Aku terlalu tenggelam dalam ketakutan akan kematian. Dalam benakku, bukankah kematian adalah hal yang umum? Bukankah kematian memang harus ada? Tapi aku berpikir lagi, kenapa harus terlalu cepat? Apakah kematian tak pernah memberi kesempatan sama sekali? Bahkan buatku?
Ibu yang terlampau sering memelukku tak pernah kucium lagi. Meski ia berulang-kali mengelus dada dan mengatakan, "sabar" terus menerus, sehingga membuatku sakit kepala.
"Banyak-banyak istighfar, ya."
"Banyak-banyak istighfar, yaa."
"Banyak-banyak istighfar!"
"BANYAK-BANYAK ISTIGHFAR!!"
Kalimat itu semakin lama semakin berubah mengerikan. Alhasil, kalimat itu kubuang. Tak sempat kubakar, maka kucampakkan saja ke bawah kolong tempat tidur. Lalu aku meninggalkannya. Berlari tanpa suara. Bahkan ibupun tak mendengarnya.
"Hidup itu jangan ditebak-tebak. Biar dia dan semua elemennya menjadi bagian dari nafasmu." Kata ibu berulang kali. Berkali-kali. Hingga bisa kukuadratkan ratusan kali. Dan membentuk penyangkalan yang sangat besar.
"Hidup kita di tangan Tuhan…"
"Hidup kita di tangan Tuhan…"
"Hidup kita di tangan Tuhan…"
"Hidup kita di tangan Tuhan…"
Dan aku membalas, " TUHAN TAK PERNAH MENGERTI HIDUPKU!"
Dan kenyataannya memang itu yang kurasakan. Desingan peluru itu masih terus terdengar. Mayat-mayat masih terus tercipta. Hingga aku bisa mencium bau busuknya. Bau yang pengap. Bau ayahku.
Hah, ayah??
Bayangannya memelukku. Siluetnya mengajarkanku pada sebuah pengendalian diri. Aku masih bisa mengingat saat-saat ia mengajarkanku bagaimana caranya beristiqamah. Menyerahkan diri pada Allah saat aku sudah lupa dengan tubuh sendiri.
Lantas kenapa saat ini aku lebih suka bertindak sesukanya? Kenapa ayah tak pernah mengingatkanku soal istiqamah? Akhir-akhir ini aku memang suka mengucapkan kalimat seenaknya.
"Jika perang tak pernah usai, maka tamatlah Tuhan." Kataku.
"Kenapa kamu bicara begitu?"tanya ibu.
"Sangat jelas 'kan, Bu. Kalau Tuhan tak memahami kehidupan kita."
Ibu mengelus dada, "Masya Allah. Istighfar. Istighfar. Kematian ayah, bukan satu-satunya alasan untuk menyalahkan Tuhan. Bahkan Allah tak pernah pantas disalahkan."
"Jangan terlalu teoritislah, Bu. Juga jangan terlalu agamis. Hidup itu berjalan sesuai apa yang kita mau. Begitu seharusnya. BEGITU SEHARUSNYA!"
Aku pergi! Berlari… Hingga aku kehilangan arah. Aku lupa membawa kunci ketika aku pergi. Tapi tak terlalu kupikirkan. Kunci adalah satu-satunya alasan untuk menjadi orang bodoh. Dan arah terlalu memberi pilihan yang sulit. Sehingga aku harus jeli dalam menentukan. Antara hitam dan putih. Kiri dan kanan. Dan apapun itu. Tapi aku justru memilih abu-abu.
Akhhh…..!
Satu-satunya alasan aku pergi dari rumah adalah karena rumah bukan tempat yang tepat untuk mengutuki dunia. Aku semestinya pergi ke daerah tinggi. Berdiri di tepi jurang. Lalu, ketika angin berhembus kencang, maka aku akan siap untuk memaki dunia.
"Kau renggut ayahku!!" aku menangis sejadi-jadinya.
"Lihat, dunia. Lihat!" kataku sambil memegang sebutir peluru, "kalian bisa mencium darah dari peluru ini. Inikah yang dinamakan keadilan!"
Aku berlutut, “mungkin kalian senang dengan kematian? Apa hubungan kalian dengan kematian, hah? Kenapa kematian tak pernah memberikan kebahagian? Kenapa mesti ada kematian?
Dan aku tercampak. Pada area-area gelap. Masa lalu penuh dengan tantangan. Bukan! Masa lalu penuh kebiadaban. Tapi aku mencoba keluar. Paling tidak, aku mencobanya ketika aku mulai menyadari bahwa hidup bukanlah satu-satunya tujuan untuk menyalahkan Tuhan. Mencoba untuk memilih alasan yang tepat untuk mengakhiri erosi yang menggerus kepercayaanku padaNya. Ketika masa silam kembali menyapaku. Dan mungkin, kali ini, aku akan merasa terombang-ambing.

***

"Tidurlah yang nyenyak. Besok pagi, kita tahajjud bareng." Kata ayah.
Di atas ranjang itu, aku merasakan kenyamanan. Kenyamanan yang teramat sangat. Sehingga–mungkin–aku lupa bahwa cobaan itu selalu hadir pada setiap manusia. Pelukan itu dan ciuman itu. sangat hangat bila aku mencoba untuk mengingatnya lagi. Membuatku tak pernah bangun bahwa hidup selalu menyimpan rahasia. Dan membukanya saat kita berada pada posisi-posisi paling kritis.
Ayah yang baik. Ayah yang selalu memuji. Juga ayah yang selalu mengingatkanku. Begitu polos wajahnya hingga aku sadar bahwa ia terlalu perih buat dilupakan.
Ayah selalu menasehatiku agar selalu raja' pada Allah. Yaitu mengharap kepada Allah untuk sampai ke jalanNya. Jalan yang terang. Penuh keabadian. Penuh cahaya dan kita tak pernah bisa menciptakan cahaya sehebat buatan Allah.
“Allah itu selalu memberikan kemudahan bila kita memudahkan agamaNya.”
Itu kata ayah.
Tapi dulu. Dulu. Dan sudah bertahun-tahun lalu, hingga akhirnya aku harus berpisah di bandara dengannya.
"Nggak usah terlalu mendramatisir keadaan. Ayah cuma pergi sebentar, kok."
Dan ternyata, kata 'sebentar' itu bukan merupakan sebuah denotasi. Justru kata itu adalah metafora dari keadaan yang sebenarnya. Hidup di dunia memang terlalu sebentar ketika kita membandingkannya dengan waktu akhirat. Dan itulah yang menjadikan kata 'sebentar' menjadi metafora yang mampu membohongiku. Juga banyak orang yang menyayangi ayah. Juga kehidupanku selanjutnya. Dan aku memang telah lama menjadi anak kecil. Sehingga sulit melepaskan diri dari kemandirian.
Sampai pada suatu ketika, aku akan benar-benar menangis mengetahui bahwa ayah sudah tewas. Ia dikembalikan ke Indonesia dengan tubuh penuh lubang. Wajah diselipi debu yang hanya bisa kulihat sendiri. Satu bentuk kemandirianku yang pertama. Sebuah bentuk dimana akan terasa sangat pedih ditinggal orang terkasih. Dan itu berimbas pada keyakinanku akan takdir.
Aku pikir, takdir selalu membuat orang kesusahan. Aku pikir, orang akan bermatian karena takdir. Sehingga aku harus membenahi diri untuk menghadapi takdir yang mungkin akan lebih merepotkan.
"Sabar, Almira. Banyak-banyaklah berdoa kepada Allah. Ayahmu akan tenang di sana." Kata Safria, sahabatku.
Safria adalah orang dulu mesti kuhindari. Ya. Sangat kuhindari karena ia akan selalu menceramahiku. Membosankan. Tapi ketika aku dalam kesulitan, justru Safria menjadi orang yang paling kucari. Seperti ketika aku benar-benar berada di ujung tanduk. Ketika tepi jurang tak memperbolehkanku untuk berdiri tegak. Aku benar-benar kecarian seorang Safria.
Suaranya bergemuruh di dalam batinku. Ucapannya mengenai kebesaran Allah tertancap dan tak bisa lepas dari pikiranku. Mungkin ia bisa mengantarku mencari kunci pintu rumah yang hilang. Sehingga aku bisa masuk, membaca Al Qur'an, dan shalat berjama'ah dengannya.
Lalu aku akan kembali menjadi orang dewasa seutuhnya.
Tapi di mana Safria saat aku mencarinya? Sementara aku makin terselubung oleh kegelapan. Jurang itu semakin menggeserku. Semakin menggoyahkan sikapku. Lalu, apa aku harus berdoa? Tapi aku tak tahu bagaimana cara berdoa. Justru Safria yang dulu mengajarkanku berdoa. Tapi ia tak ada di mana-mana.
Kenapa?
Lho, kenapa aku malah terjerumus ke dalam gua. Padahal cobaan yang aku hadapi tak semenyakitkan itu. Toh, semua orang akan menyaksikan kematian. Bahkan mengalaminya. Lantas di mana kepalaku saat aku mesti berpikir tentang orang lain yang mengalami cobaan yang lebih berat dariku?
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri, "di mana kepalaku?"
Kemudian ada sesuatu yang menjawab, "cobalah cari. Kau masih ingat pada Allah, 'kan?"
"Ya." Kataku.
"Maka, cari dulu Allah. Maka kau akan ingat di mana kau meletakkan kepalamu. Dan kau bisa memulai memikirkan orang lain."
Lalu aku berkata, "masalahnya., aku tak tahu bagaimana caranya mencari Allah. Bisa kau tunjukkan jalannya kepadaku?"
"Terlalu sulit, Almira. Kau yang menentukan jalanmu, 'kan. Kau bilang, hidup harus sesuai dengan yang kau inginkan. Maka, buatlah jalan sesuai yang kau inginkan."
Aku menjerit! "Nggak. Aku nggak bisa sama sekali! Tolong! Tolong aku!"
"Jangan biarkan jalanmu masuk ke jurang. Tentukan arah. Tentukan arah." Dan perlahan suaranya menghilang.
Aku bergeming. Sebenarnya, siapa sebenarnya Allah. Kenapa aku pernah mendengarnya. Bagaimana bentuknya? Apa dia? Tuhankah? Atau apa? Tak ada orang yang memberitahuku. Aku sudah jauh dari ibu.
Apa kematian harus berimbas semenyakitkan ini?
Ini sangat sulit.
Sementara itu, aku terus melanjutkan pencarianku mengenai Safria. Kini, sampai di mana aku? Sunyi selalu menghambatku mencari Safria. Mungkin karen aku tak pernah memegang kunci. Betapa menyesalnya aku. Kenapa aku tak membawa kunci itu ketika aku pergi?
Rupanya, aku meninggalkannya di dalam rumah. Ah! Melelahkan. Aku harus kembali ke rumah. Berjumpa dengan ibu lagi. Malunya aku… Aku merasa malu karena menjadi liar. Bahkan aku menjadi bodoh. Lalu, aku berpikir lagi. Jika kunci itu kutinggalkan di dalam rumah, lantas bagaimana aku mengambilnya?
Ah!
Berpikir!
Berpikir!
Berpikir!
Apa yang mesti aku lakukan?
Apa aku harus mendobrak pintunya? Tapi rumah ibu bisa hancur. Aku sama sekali tak mempunyai hak atas rumah itu. Cuma ibu. Tapi aku tak mungkin menemukan kunci tanpa masuk ke dalam rumah.
Lagipula rumah terlalu jauh buat kujangkau. Tanpa kepala. Tanpa sesuatu yang dapat kugunakan untuk melihat arah. Aku kacau.
AKU KACAU!!
Berpikirlah Almira! Berpikir.
Ke mana otakku yang jenius? Oh, iya, ia kutinggalkan di dalam kepala.
Ya ampun. Aku benar-benar dalam masalah sekarang. Kenapa aku bisa bertindak bodoh. Ayah, tolong aku. Tolong aku!
Kemudian, aku mendengar suara gemerincing dari atas. Suaranya sangat memekakkan telinga. Aku hampir terduduk karena tak tahan mendengar suaranya. Lalu tiba-tiba, suara ayah terdengar.
"Memintalah pada Allah. Memintalah pada Allah."
Suara itu menghilang.
'meminta pada Allah'.
Kalimat itu menembus dadaku hingga jantungnya berdebar. Gederam yang sangat asing berkelebat di dadaku. Desingan peluru. Darah-darah yang memuncrat serta rasa benciku pada nama Itu.
Apakah itu yang dinamakan setan?
‘MEMINTALAH PADA ALLAH’
‘MEMINTALAH PADA ALLAH’
‘MINTA PADA ALLAH ALMIRAAA!!’
Teriakku dalam hati.
Benarkah itu harus kulakukan? Sementara aku sudah lupa dengan Allah. Akankah Allah mengabulkan permintaanku? Sementara aku sudah jauh meninggalkannya.
Setelah cukup lama berpikir, tanpa kusadari, aku telah bersimpuh. Embun menyemai pipiku hingga basah kuyup. Embun yang tak biasa. Inikah tangisan karena mencintai Allah? Begitu nikmat. Tak senikmat tangisan ketika aku meratapi kematian. Mungkin inilah jawabannya. Aku menengadahkan kedua tangan. Aku berbicara, tapi aku tak mendengar suaraku. Cuma dadaku yang bisa kurasakan berbicara dengan Allah. Allah Yang Maha Pengampun. Allah Yang Maha Pengasih.
Aku memang tak menemukan kunci saat pintu terbuka. Tapi aku menemukan kunci yang sebenarnya. Kunci, yang pada akhirnya, dan selama-lamanya kusebut ia sebagai Allah. Kunci dalam metafora keabadian. Bahkan kunci itu tak hanya membukakan rumah, dan mempertemukanku dengan ibu dalam keadaan bahagia.
Aku juga menemukan Safria.

Lubukpakam, 2008

Read more...

Sang Pembunuh dan Penyayang

>> Sabtu, 16 Mei 2009



ISBN: 978-979-3972-48-0
Genre: Fiction - Crime/Suspense
Penerbit: Dastanbooks
Penulis: Jeff Lindsay
Harga: Rp 49.900,00
Halaman: 364
Ukuran: 12,5 x 19
Sampul: Soft Cover, Glossi
Dexter, adalah seorang detektif spesialis percikan darah yang bekerja i Miami. Membaca sosok Dexter, kita akan mengakui bahwa Dexter adalah pria mengagumkan. Lewat penuturan yang santai dan nyeleneh, novel ini cukup membuat saya tertawa. Bagi saya ini adalah novel tentang pembunuhan yang tidak mencekam sebagaimana novel sejenis yang sama.
Novel kriminal biasanya menyuguhkan suasana yang dibangun secara mencekam, seakan menakutkan. Seolah-olah kita berpikir cukuplah kejadian itu menimpa si tokoh dalam novel. Tapi justru Jeff Lindsay, dalam novelnya melihat darah dari sudut pandang yang berbeda. Cerita deskriptif yang dibangun memang sangat menegangkan, tapi seakan-akan setiap periwtiwa pembunuhan adalah hal yang mestinya dibawa santai atau penuh tawa.
Ketika novel ini mengalir dalam kepala kita, maka kita akan diseret ke pemikiran-pemikiran Dexter yang mencekam dan pemikiran-pemikiran Dark Passenger, jiwa lain dalam diri Dexter. Dalam satu waktu ia harus memecahkan kasus-kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Dr. Danco. Sang Pemutilasi yang memutilasi korbannya dalam keadaan hidup. potongan-potongannya seperti karya seni, memang pantas.
Tapi Dexter tidak sepenuhnya sosok yang mengagumkan. di balik itu, ia adalah pemutilasi yang hebat. ia adalah pembunuh dengan sejuta rahasia. satu hal yang menarik, Dexter hanya membunuh orang yang memasng pantas untuk dibunuh. selebihnya, ia adalah lelaki biasa.

Read more...

Kemarin dan Hari Ini

>> Selasa, 12 Mei 2009

apa aku berdosa, Kawan?
kapan aku bisa betul-betul mengubah kelakuan itu...

ah, ini keluh kesahku..

aku adalah ketua suatu organisasi... sementara sebentar lagi harus ada pergantian jabatan antara pengurus yang lama dengan pengurus yang baru. entah teman-temanku masih marah atau mereka malah tak mau melihatku, tapi mau tidak mau mereka harus ikut serta dalam pergantian pengurus baru ini....

aku bahkan lupa agenda acara ini... jujur, aku bahkan berpikir bukan ketua yang baik....

i think bad as a leader!!!!!!!!!!!!!!!

aku ingin mengubah kejadian masa lalu...andai teori mengubah waktu itu benar-benar terjadi, maka aku akan mengubah diriku menjadi bayi.....

maka, hari ini, prtama kali aku mengutarakan masalah besar ini... jika kalian menganggapnya begitu...

satu hal yang kuinginkan:
SOLUSI

Read more...

Titik-Titik

>> Jumat, 08 Mei 2009



















lalu, hujan seperti titik-titik.
kemudian, kau menyamar titik-titik.
kepalamu titik-titik.

titik-titik yang menguntit larik.
titik-titik dengan topeng akik.
titik-titik kaki jangkrik.

bunyimu titik-titik, dan lagu lama.
lagu lamamu titik-titik, seperti siapa.
siapa titik-titik, yang kau sapa.

AKU titik-titik
KAU titik-titik
BUNYI titik-titik

dan kau telah TAHU


Desember, 2008

Read more...

Kematian dan Peramal

>> Sabtu, 18 April 2009




Pintunya tak berdaun. Wilayah dalam hanya tersekat oleh kain panjang dibelah dua berwarna merah darah. Yang permukaannya berkelap-kelip layaknya janda genit. Auranya, ah, bau minyak urang-aring. Muncul asap dari celah-celah dinding tepasnya yang memancar sinar hitam kelam. Sebuah pertanda akan datangnya ruh tak berdosa menuntut balas.
Tak bisa dipastikan saat itu siang, atau malam. Karena ayam berkokok seperti pukul sebelas pagi. Tapi nyatanya, selubung awan tebal mengitari gubuk kecil reyot tua bangka itu. Pusaran awan gelap yang melingkupi hati seorang syirik. Tapi, lebih membawa keberuntungan bagi si pemilik. Dan bisa dipastikan, tua bangka itu bakal melamar satu isteri lagi. Menggenapi empat isterinya yang berkurang satu karena penyakit kulit aneh itu.
Ruang kerjanya adalah dua keris yang menyilang di dinding. Dibawahnya adalah patung jin yang wajahnya buas seperti gizzly. Dingin, tajam, tak berpikir untuk merasa kasihan, dan satu-satunya yang ia makan, adalah daging manusia.
"Kalian tahu! nasib siapa yang pernah lolos dari mataku, hah! Ibumu, bapakmu, nenek-kakekmu, aku selalu bisa menebak kebenaran." Teriaknya.
Beberapa hari lagi akan terjadi banjir bandang.
Begitu katanya.
Maka orang-orang berduyun-duyun pindah rumah, dan desa itu menjadi sepi. Seketika, gemuruh meremuk-redamkan orang-orang yang masih percaya tuhan. Sebagian dari mereka mati binasa. Otaknya bercampur lumpur, dan pasti, penduduk desa menjadi biadab seketika. Tua bangka itu, telah menjadi tuhan.
Garis nasib adalah cecunguk-cecunguknya yang payah. Ia hanya memerlukan kemenyan, kencing kelelawar, dan tahi kumbang buat mencerca nasib dalam kepalanya. Tak satupun lengeser dari kaliamt-kalimat sakti itu.
"Kau bisa membantuku, tua bangka?"
"Apa?"
"Ramalkan aku tentang keburukan."
"Apa tujuanmu?"
"Aku ingin mencegah keburukan, tua bangka tolol!"
Wajahnya memerah. Matanya berkobar. Sang-Penakluk-Api-Hitam. Begitu julukannya jika sedang membabi-buta. Biasanya ketika itu, bidikannya tentang kematian, penyakit, kegilaan, menjadi tepat sasaran. Ia mengucapkan mantera-mantera. Mulutnya membiru. Wajahnya seperti longsor. Membenamkan seluruh warna putih dalam pikirannya yang abu-abu. Dan kini telah menjadi hitam.
Ruangannya adalah kumpulan iblis-iblis tentang kematian. Ia, akan meramalkan sebuah perkara. Sebuah ketololan. Maka, lelaki itu, yang berucap kata 'tolol' padanya, tak mudah selamat dari ramalannya. Lelaki itu bergeletar. Bibirnya tak mampu ikatup. Ternganga seperti lubang langit yang memecahkan kesepian. Serupa badai, ruangan itu diselimuti hujan deras. Hanya milik si tua bangka itu.
Di langit-langit rumahnya, seperti akan ada hujan meteor hitam. Membentang dari seluruh penjuru dunia. Seperti akan datang sebentuk iblis yang akan menerkam lelaki itu. Panjang, ekornya sepanjang naga. Matanya semerah darah. Dan mulutnya sebau kulit busuk manusia.
"Apa yang kau lakukan, hah?" kata lelaki itu.
Tapi tua bangka itu tak berhenti mengoceh. Asap dari kemenyan, anehnya, semakin banyak. Memenuhi hampir langit-langit ruangan. Empat isterinya mengungsi ke hutan. Tempat anak-anak iblis dilahirkan diam-diam.
"Bicaralah yang benar, tua bangka."
"Aku tahu, kau yang mengirim iblis-iblis ke rahim isteriku. Membunuhi bayi-bayi kembarnya. Membuntuti ritual sucinya. Dan kau, mengirim ular ke permukaan kulitnya. Bajingan!!"
Lelaki itu tersentak.
Bicaranya aneh.
Tak dapat diduga, ia bisa terbang. Tubuh bongkoknya bisa menahan berupa-rupa setan dikepalanya.
"Apa maksudmu, tua bangka! Bicaralah yang benar."
"Mau apa kau ke sini?"
"Jelas suapay kau mau meramalku. Tapi kau, kini, sedang terbang."
Kembang tujuh rupa berputar-putar di dalam kendi. Airnya sedingin kutub. Dari dasar kendi, terlihat pertukaran jiwa yang amat menyakitkan. Neraka jahanam. Menggema. Mengutuki si tua bangka. Tapi si tua bangka, Si-Pengaku-Tuhan menagkalnya dengan asap kemenyan. Maka, kutukan itu pergi. Disepaknya keluar lewat buih-buih kekuatan hitam.
Lelaki itu menarik pelatuk pitolnya. Ia gemetar. Panik. Tak tahu harus melakukan apa. Kini, ia berada dalam lingkungan setan. Lencana dikantungnya tersungkur keluar. Tua bangka murka. Ia semakin menjadi-jadi. Maka, diletupkannya amarahnya hingga ruangan tak diketahui lagi bentuknya.

***
Sudah sebulan ini, Sersan Ali mengincar begundal-begundal nasib sialan itu. Tak tahu di mana tempat tinggalnya. Tapi ia berusaha mencari sendiri. tua bangka itu sudah keterlaluan. Dibiarkannya penduduk minggat dari desa karena isu banjir sudah tersebar ke mana-mana. Polisi susah dibuatnya.
"Tapi betul. Setahun lalu, diramalkannya seorang wanita bakal melahirkan anak sapi. Lalu besok siangnya, betul-betul lahir anak sapi dari rahim manusia. Apa itu namanya kalau bukan tepat sasaran." Kata seorang petani.
"Ah, itu hal biasa." Tampik Sersan Ali.
"Tak tahukah kau, bahwa dia bisa meramal kematianmu. Kau pahami itu betul-betul!"
Kantor polisi siang itu, hanya disibukkan dengan urusan ramal meramal. Perbincangannya tak jauh dari si tua bangka itu. Maka, Sersan Ali mengambil tindakan. Ia melemparkan gelas ke tembok, dan pecah menjadi ribuan ketegangan.
"Hei, apa maksudmu?" kata petani itu menciut.
"Dasar, makhluk udik. Masih percaya kalian dengan ramalan. Kalian lebih percaya batu ketimbang tuhan, air kencing ternakpun kalian sangka dokter. Mana ilmu kalian. Sekolahkah kalian!" teriaknya.
Sersan Ali berdiri di atas meja. Lebih tinggi dari orang-orang. Ia berkacak pinggang. Memegang gagang pistol yang masih disarungnya. Sekadar mengancam.
"Sholat kalian sekarang! Ambil wudhu, biar iblis-iblis itu tak mengancam pikiran kalian lagi!"
Siang itu terik. Sersan Ali memang tak sempat mengacungkan moncong pistolnya ke udara karena memang ia tak berniat melukai. Tapi orang-orang desa masih menuntut tempat tinggal mereka. Mereka mengancam akan menginap di kantor polisi jika rumah baru mereka tak segera direalisasikan.
"Mana ada rumah baru! Kami tak punya anggaran untuk itu!"
Sersan Ali loncat dari mejanya. Ia memasukkan lagi pistolnya ke sarungnya. Ia duduk. Mengetuk-ngetuk meja dan memejamkan mata sebentar.
"Dasar kalian makhluk-makhluk kotoran kambing. Bikin susah negara! Berpikrlah pakai ilmu. Buang jauh-jauh mitos kuno kalian!" katanya geram.
Sulit menghilangkan kemarahan jika Sersan Ali merah mukanya. Kupingnya panas. Mulutnya keluar api menyala-nyala. Setahun penuh, ia hanya dhantui persoalan-persoalan serupa. Seminggu lalu, ada penduduk yang minta ganti rugi karena kotoran kambing yang dimakannya membuat ia diare habis-habisan. Bulan lalu, ada yang mengancam bunuh diri kalau batu petirnya tak segera dikembalikan kepada pemiliknya.
Dan hari ini, tua bangka itu bikin ulah lagi. Setelah ia dibebaskan dari penjara karena menyumpah hujan meteor akan melanda negeri ini, tua bangka itu malah membuat persoalan semakin runyam. Bayangkan, dua puluh satu kepala keluarga akan menginap di kantor polisi. Satu keluarga, bukannya punya satu dua anak. Satu keluarga, umumnya, ada dua isteri, satu ayah, dan sembilan anak. Itupun, karena petuah tua bangka itu. Dua isteri lebih baik daripada satu, katanya. Maka, mengekorlah para penduduk desa.
Para suami berlomba-lomba mencari isteri baru. Sementara sang isteri, mungkin karena matanya hijau, iapun rela mengawinkan adiknya dengan suaminya sendiri. sementara sang adik, bahkan lebih gila hijaunya ketimbang sang kakak.
Maka, Sersan Ali tak mau diam. Ia pergi ke desa tua bangka itu. Pura-pura menjadi penduduknya. Dan pura-pura menjadi pasien setianya.
Berulang kali ia minta diramal. Berulang kali juga, kematian menyinggahinya. Awalnya ia tak peduli karena yang mati hanya unggas-unggas peliharaannya. Tapi, ketika yang mati mulai dari kucing kesayangan nabi, pohon kurma, dan ikan mas kesayangannya, ia tak bisa menahan amarah.
Ia mendatangi gubuk reyot si tua bangka itu. Empat isterinya saat itu sedang mencari buah-buahan di hutan. Rupanya mereka mengidam rambutan hutan. Maka, tinggalah tua bangka bongkok penyot itu di dalam.
Dengan muka merah, Sersan Ali duduk dihadapan tua bangka itu. Wajahnya lugu. Pura-pura tidak tahu. Sok malu-malu.
"Seperti biasa, kau masih kelihatan goblok." Kata tua bangka itu.
Sersan Ali mengangguk. Tersenyum.
"Kau mau kucarikan isteri, hah?"
"Aku sudah punya isteri." Katanya.
"Dua isteri lebih baik daripada satu isteri, Ali."
Sersan Ali menunduk. Ia membenamkan wajahnya di balik kendi-kendi si tua bangka. Sementara itu, tua bangka itu masih memutar-mutar tangannya di atas kendi. Mengucapkan mantera-mantera secara wajar.
"Bicaralah yang benar, tua bangka tolol."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, aku ingin diramal tentang ketololanmu itu. Kegilaan anehmu tentang kematian." Serasan Ali tertawa. Cekikikan.
Maka, dengan senang hati, tua bangka itu menyiramkan air dari kendi ke wajah Sersan Ali. Sersan Ali murka. Ia keluarkan pistolnya dan membenamkannya di mata si tua bangka.
"Apa yang kau lakukan?"
"Menurutmu apa? Membunuhmu?"
Si tua bangka hanya tertawa. Terbahak-bahak. Ia puas dengan kata-kata itu. Karena ia pikir, kematian tak pernah singgah padanya.
"Kalau kau berani, maka kau bisa membunuhku. Tapi kau tak pernah berani membunuh karena kau seorang polisi tolol. Keluargamu pasti mati! Dan isterimu, tak segan-segan aku tuahkan anak tuyul dari rahimnya."
Maka, dengan senang hati ia letuskan pistol itu ke mata si tua bangka. Dengan sekejap, tua bangka itu menggelepar seperti ikan tak dapat air. Sersan Ali, dengan wajahnya yang seperti naga berkobar keluar dari kandang tengil itu. Tersenyum-senyum.
Besok paginya, ia mengumumkan kepada penduduk bahwa banjir tak kan pernah terjadi dan si tua bangka penyok berengsek itu sudah mati.

***
Tapi di tengah hutan, di gubuk setan, empat isteri tua bangka itu akan bersiap-siap melahirkan. Mereka menyiapkan segala macam bunga untuk menyambut kelahiran. Tak ada dukun beranak, tak ada bidan. Mereka melahirkan sendiri. hanya burung-burung elang dan beruk-beruk yang melihat kelahiran bayi setan itu.
Dan satu per satu, tak diduga tak disangka. Dari rahim mereka berempat, rupanya anak tuyul yang lahir.

10, April

Read more...

Hari Ini,,,, PEMILU! Apa Artinya??

>> Kamis, 09 April 2009

Tgal 9 ne, apa artinya?
Omong doank,,,
tak da yg dpt kemenangan sesungguhnya,,,,,,,,,,,,

PEMILU........

aku tak ngerti pemilu itu.
Q 17 th. Gak milih. Q bukan org gila yg tak mw milih.
Tak da undgan bwatQ milih.

Pesta apa ini???
Toh, Q ga niat milih siapapun.
Q milih kemenangan yg berarti saja!!!

Kalian, milih APA !!!

Read more...

Jam Tangan Durhaka

>> Rabu, 01 April 2009

Ketika hendak merayakan ulang tahunnya yang ketiga belas jam tangan berteriak sekeras-kerasnya karena pada saat itu lampu padam. PLN mengadakan pemadaman bergilir hingga seribu tahun lamanya. Di rumah-rumah pejabat, pemadaman hanya terjadi sekali seratus tahun.
Alhasil, jam tangan tidak dapat merayakan hari ulang tahunnya yang ketiga belas karena selama seribu satu tahun lampu padam. Ia marah dan berkata, "katanya cuma seribu tahun!"
Lalu jam tangan berlari ke luar rumah dan menyumpahi PLN,
"Kukutuk kau jadi keledai!!" katanya keras-keras.
Akhirnya, jam tanganpun tenang dan bisa menonton acara kesukaannya. Ia tak peduli dengan apa yang akan terjadi dengan PLN.
Beberapa lama kemudian, jam tangan khawatir karena ayahnya tak juga pulang kerja. Setelah ia menunggu selama dua jam, ia mendengar suara pintu diketuk. Ia bergumam, " itu pasti ayah."
Tapi ia tak mendengar suara ayahnya seperti biasa. Cuma suara hewan asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ketika pintu dibuka, jam tangan kaget melihat ayahnya telah jadi keledai.
Dengan marah ayahnya berkata, "dasar anak durhaka!"

2008


Read more...

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP