Kematian dan Peramal

>> Sabtu, 18 April 2009




Pintunya tak berdaun. Wilayah dalam hanya tersekat oleh kain panjang dibelah dua berwarna merah darah. Yang permukaannya berkelap-kelip layaknya janda genit. Auranya, ah, bau minyak urang-aring. Muncul asap dari celah-celah dinding tepasnya yang memancar sinar hitam kelam. Sebuah pertanda akan datangnya ruh tak berdosa menuntut balas.
Tak bisa dipastikan saat itu siang, atau malam. Karena ayam berkokok seperti pukul sebelas pagi. Tapi nyatanya, selubung awan tebal mengitari gubuk kecil reyot tua bangka itu. Pusaran awan gelap yang melingkupi hati seorang syirik. Tapi, lebih membawa keberuntungan bagi si pemilik. Dan bisa dipastikan, tua bangka itu bakal melamar satu isteri lagi. Menggenapi empat isterinya yang berkurang satu karena penyakit kulit aneh itu.
Ruang kerjanya adalah dua keris yang menyilang di dinding. Dibawahnya adalah patung jin yang wajahnya buas seperti gizzly. Dingin, tajam, tak berpikir untuk merasa kasihan, dan satu-satunya yang ia makan, adalah daging manusia.
"Kalian tahu! nasib siapa yang pernah lolos dari mataku, hah! Ibumu, bapakmu, nenek-kakekmu, aku selalu bisa menebak kebenaran." Teriaknya.
Beberapa hari lagi akan terjadi banjir bandang.
Begitu katanya.
Maka orang-orang berduyun-duyun pindah rumah, dan desa itu menjadi sepi. Seketika, gemuruh meremuk-redamkan orang-orang yang masih percaya tuhan. Sebagian dari mereka mati binasa. Otaknya bercampur lumpur, dan pasti, penduduk desa menjadi biadab seketika. Tua bangka itu, telah menjadi tuhan.
Garis nasib adalah cecunguk-cecunguknya yang payah. Ia hanya memerlukan kemenyan, kencing kelelawar, dan tahi kumbang buat mencerca nasib dalam kepalanya. Tak satupun lengeser dari kaliamt-kalimat sakti itu.
"Kau bisa membantuku, tua bangka?"
"Apa?"
"Ramalkan aku tentang keburukan."
"Apa tujuanmu?"
"Aku ingin mencegah keburukan, tua bangka tolol!"
Wajahnya memerah. Matanya berkobar. Sang-Penakluk-Api-Hitam. Begitu julukannya jika sedang membabi-buta. Biasanya ketika itu, bidikannya tentang kematian, penyakit, kegilaan, menjadi tepat sasaran. Ia mengucapkan mantera-mantera. Mulutnya membiru. Wajahnya seperti longsor. Membenamkan seluruh warna putih dalam pikirannya yang abu-abu. Dan kini telah menjadi hitam.
Ruangannya adalah kumpulan iblis-iblis tentang kematian. Ia, akan meramalkan sebuah perkara. Sebuah ketololan. Maka, lelaki itu, yang berucap kata 'tolol' padanya, tak mudah selamat dari ramalannya. Lelaki itu bergeletar. Bibirnya tak mampu ikatup. Ternganga seperti lubang langit yang memecahkan kesepian. Serupa badai, ruangan itu diselimuti hujan deras. Hanya milik si tua bangka itu.
Di langit-langit rumahnya, seperti akan ada hujan meteor hitam. Membentang dari seluruh penjuru dunia. Seperti akan datang sebentuk iblis yang akan menerkam lelaki itu. Panjang, ekornya sepanjang naga. Matanya semerah darah. Dan mulutnya sebau kulit busuk manusia.
"Apa yang kau lakukan, hah?" kata lelaki itu.
Tapi tua bangka itu tak berhenti mengoceh. Asap dari kemenyan, anehnya, semakin banyak. Memenuhi hampir langit-langit ruangan. Empat isterinya mengungsi ke hutan. Tempat anak-anak iblis dilahirkan diam-diam.
"Bicaralah yang benar, tua bangka."
"Aku tahu, kau yang mengirim iblis-iblis ke rahim isteriku. Membunuhi bayi-bayi kembarnya. Membuntuti ritual sucinya. Dan kau, mengirim ular ke permukaan kulitnya. Bajingan!!"
Lelaki itu tersentak.
Bicaranya aneh.
Tak dapat diduga, ia bisa terbang. Tubuh bongkoknya bisa menahan berupa-rupa setan dikepalanya.
"Apa maksudmu, tua bangka! Bicaralah yang benar."
"Mau apa kau ke sini?"
"Jelas suapay kau mau meramalku. Tapi kau, kini, sedang terbang."
Kembang tujuh rupa berputar-putar di dalam kendi. Airnya sedingin kutub. Dari dasar kendi, terlihat pertukaran jiwa yang amat menyakitkan. Neraka jahanam. Menggema. Mengutuki si tua bangka. Tapi si tua bangka, Si-Pengaku-Tuhan menagkalnya dengan asap kemenyan. Maka, kutukan itu pergi. Disepaknya keluar lewat buih-buih kekuatan hitam.
Lelaki itu menarik pelatuk pitolnya. Ia gemetar. Panik. Tak tahu harus melakukan apa. Kini, ia berada dalam lingkungan setan. Lencana dikantungnya tersungkur keluar. Tua bangka murka. Ia semakin menjadi-jadi. Maka, diletupkannya amarahnya hingga ruangan tak diketahui lagi bentuknya.

***
Sudah sebulan ini, Sersan Ali mengincar begundal-begundal nasib sialan itu. Tak tahu di mana tempat tinggalnya. Tapi ia berusaha mencari sendiri. tua bangka itu sudah keterlaluan. Dibiarkannya penduduk minggat dari desa karena isu banjir sudah tersebar ke mana-mana. Polisi susah dibuatnya.
"Tapi betul. Setahun lalu, diramalkannya seorang wanita bakal melahirkan anak sapi. Lalu besok siangnya, betul-betul lahir anak sapi dari rahim manusia. Apa itu namanya kalau bukan tepat sasaran." Kata seorang petani.
"Ah, itu hal biasa." Tampik Sersan Ali.
"Tak tahukah kau, bahwa dia bisa meramal kematianmu. Kau pahami itu betul-betul!"
Kantor polisi siang itu, hanya disibukkan dengan urusan ramal meramal. Perbincangannya tak jauh dari si tua bangka itu. Maka, Sersan Ali mengambil tindakan. Ia melemparkan gelas ke tembok, dan pecah menjadi ribuan ketegangan.
"Hei, apa maksudmu?" kata petani itu menciut.
"Dasar, makhluk udik. Masih percaya kalian dengan ramalan. Kalian lebih percaya batu ketimbang tuhan, air kencing ternakpun kalian sangka dokter. Mana ilmu kalian. Sekolahkah kalian!" teriaknya.
Sersan Ali berdiri di atas meja. Lebih tinggi dari orang-orang. Ia berkacak pinggang. Memegang gagang pistol yang masih disarungnya. Sekadar mengancam.
"Sholat kalian sekarang! Ambil wudhu, biar iblis-iblis itu tak mengancam pikiran kalian lagi!"
Siang itu terik. Sersan Ali memang tak sempat mengacungkan moncong pistolnya ke udara karena memang ia tak berniat melukai. Tapi orang-orang desa masih menuntut tempat tinggal mereka. Mereka mengancam akan menginap di kantor polisi jika rumah baru mereka tak segera direalisasikan.
"Mana ada rumah baru! Kami tak punya anggaran untuk itu!"
Sersan Ali loncat dari mejanya. Ia memasukkan lagi pistolnya ke sarungnya. Ia duduk. Mengetuk-ngetuk meja dan memejamkan mata sebentar.
"Dasar kalian makhluk-makhluk kotoran kambing. Bikin susah negara! Berpikrlah pakai ilmu. Buang jauh-jauh mitos kuno kalian!" katanya geram.
Sulit menghilangkan kemarahan jika Sersan Ali merah mukanya. Kupingnya panas. Mulutnya keluar api menyala-nyala. Setahun penuh, ia hanya dhantui persoalan-persoalan serupa. Seminggu lalu, ada penduduk yang minta ganti rugi karena kotoran kambing yang dimakannya membuat ia diare habis-habisan. Bulan lalu, ada yang mengancam bunuh diri kalau batu petirnya tak segera dikembalikan kepada pemiliknya.
Dan hari ini, tua bangka itu bikin ulah lagi. Setelah ia dibebaskan dari penjara karena menyumpah hujan meteor akan melanda negeri ini, tua bangka itu malah membuat persoalan semakin runyam. Bayangkan, dua puluh satu kepala keluarga akan menginap di kantor polisi. Satu keluarga, bukannya punya satu dua anak. Satu keluarga, umumnya, ada dua isteri, satu ayah, dan sembilan anak. Itupun, karena petuah tua bangka itu. Dua isteri lebih baik daripada satu, katanya. Maka, mengekorlah para penduduk desa.
Para suami berlomba-lomba mencari isteri baru. Sementara sang isteri, mungkin karena matanya hijau, iapun rela mengawinkan adiknya dengan suaminya sendiri. sementara sang adik, bahkan lebih gila hijaunya ketimbang sang kakak.
Maka, Sersan Ali tak mau diam. Ia pergi ke desa tua bangka itu. Pura-pura menjadi penduduknya. Dan pura-pura menjadi pasien setianya.
Berulang kali ia minta diramal. Berulang kali juga, kematian menyinggahinya. Awalnya ia tak peduli karena yang mati hanya unggas-unggas peliharaannya. Tapi, ketika yang mati mulai dari kucing kesayangan nabi, pohon kurma, dan ikan mas kesayangannya, ia tak bisa menahan amarah.
Ia mendatangi gubuk reyot si tua bangka itu. Empat isterinya saat itu sedang mencari buah-buahan di hutan. Rupanya mereka mengidam rambutan hutan. Maka, tinggalah tua bangka bongkok penyot itu di dalam.
Dengan muka merah, Sersan Ali duduk dihadapan tua bangka itu. Wajahnya lugu. Pura-pura tidak tahu. Sok malu-malu.
"Seperti biasa, kau masih kelihatan goblok." Kata tua bangka itu.
Sersan Ali mengangguk. Tersenyum.
"Kau mau kucarikan isteri, hah?"
"Aku sudah punya isteri." Katanya.
"Dua isteri lebih baik daripada satu isteri, Ali."
Sersan Ali menunduk. Ia membenamkan wajahnya di balik kendi-kendi si tua bangka. Sementara itu, tua bangka itu masih memutar-mutar tangannya di atas kendi. Mengucapkan mantera-mantera secara wajar.
"Bicaralah yang benar, tua bangka tolol."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, aku ingin diramal tentang ketololanmu itu. Kegilaan anehmu tentang kematian." Serasan Ali tertawa. Cekikikan.
Maka, dengan senang hati, tua bangka itu menyiramkan air dari kendi ke wajah Sersan Ali. Sersan Ali murka. Ia keluarkan pistolnya dan membenamkannya di mata si tua bangka.
"Apa yang kau lakukan?"
"Menurutmu apa? Membunuhmu?"
Si tua bangka hanya tertawa. Terbahak-bahak. Ia puas dengan kata-kata itu. Karena ia pikir, kematian tak pernah singgah padanya.
"Kalau kau berani, maka kau bisa membunuhku. Tapi kau tak pernah berani membunuh karena kau seorang polisi tolol. Keluargamu pasti mati! Dan isterimu, tak segan-segan aku tuahkan anak tuyul dari rahimnya."
Maka, dengan senang hati ia letuskan pistol itu ke mata si tua bangka. Dengan sekejap, tua bangka itu menggelepar seperti ikan tak dapat air. Sersan Ali, dengan wajahnya yang seperti naga berkobar keluar dari kandang tengil itu. Tersenyum-senyum.
Besok paginya, ia mengumumkan kepada penduduk bahwa banjir tak kan pernah terjadi dan si tua bangka penyok berengsek itu sudah mati.

***
Tapi di tengah hutan, di gubuk setan, empat isteri tua bangka itu akan bersiap-siap melahirkan. Mereka menyiapkan segala macam bunga untuk menyambut kelahiran. Tak ada dukun beranak, tak ada bidan. Mereka melahirkan sendiri. hanya burung-burung elang dan beruk-beruk yang melihat kelahiran bayi setan itu.
Dan satu per satu, tak diduga tak disangka. Dari rahim mereka berempat, rupanya anak tuyul yang lahir.

10, April

0 komentar:

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP