Clara! Tubuh Mungilmu

>> Sabtu, 17 Januari 2009

Seperti tak ada yang ingin mengundang tamu. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Meski sebenarnya mereka mendengar rengekan bayi terlantar. Semua orang menutup telinga mereka dengan selimut. Di bawah bulan! Kegelapan langit! Semua orng terlelap persis seperti kerbau….
***
Seorang ibu–perempuan muda–baru saja melahirkan. Di antaranya cuma hadir angin dan semak-semak gatal. Ia melahirkan sendiri! Tanpa bidan, tanpa dukun beranak. Tanpa siapapun di sampingnya. Rengekan bayi mungil keluar dari celah-celah antara malam dan kesepian. Berupa kelambu untuk menutup diri dari serangan nyamuk. Kelambu berupa langit yang terbentang serupa layar hitam pekat.
Wanita itu sebenarnya sudah menyiapkan pakaian bayi yang dikemas dalam sebuah kardus. Ditidurkannya bayi itu di atas pakaian-pakaian tersebut. Wajahnya buram: wajah perempuan! Tapi ia menyandang sebagai pemikat di desanya. Pemikat para lelaki yang tak segan meremas dada dan bokongnya. Juga om-om yang juga tak mau kalah nafsunya. Tapi kini ia terlalu sibuk dengan seorang bayi.
Ia melarikan diri dari rumahnya. Menghindar sejak delapan bulan yang lalu. Sementara perutnya semakin membesar. Dan ia tak sanggup menahannya hingga delapan bulan ke depan. Dan pada akhirnya ia akan melahirkan seorang bayi perempuan.
"Clara…" kata perempuan itu.
Ia tersenyum. Sedikit. Hanya sedikit.
Dari tubuhnya, keluar darah yang tak segan mengambil andil pertarungan arus. Begitu dahsyat hingga pada akhirnya ibu itu harus bergerak mencari perlindungan buat bayinya.
"Clara…" katanya lagi, "anakku." Ia tersenyum lagi.
Ia seakan tak puas dengan rengekannya. Ia ingin mencoba ke tingkat lebih jauh. Perempuan itu berdiri tegak. Mengangkat bayinya dengan dua tangan ke atas. Menjunjung langit yang kelabu. Dan ia seolah-olah jagoan wanita yang sedang menerima titah dari dewa langit untuk membasmi para hidung belang yang semena-mena terhadap dirinya.
Lalu ia berteriak, "dunia! Ini bayiku! Clara… Dan aku melahirkannya dengan kebiadaban…."
Secara logika, langit dan yang lainnya tidak akan bertepuk tangan. Cuma suara-suara gemuruh lampu dan hiruk-pikuk kehidupan kelabu yang berjalan begtiu mulus. Aneh memang. Dentuman-dentuman diskotik bisa menguasai arena yang terkenal dengan adat istiadatnya. Bahkan miras-miras itu bisa menjamu orang-orang secara leluasa. Pun ketika mereka mengunjungi negara yang mengenal Tuhan.
Tapi ia tak peduli. Yang penting Tuhan telah tahu bahwa ia tidak menelantarkan amanahnya seperti perempuan pada umumnya. Dan yang terpenting adalah, meski dengan rasa sakit, ia bisa menebus dosa nenek moyangnya yang dulu melanggar perintah Tuhan. Dan itu sebagian besar dari titah perempuan. Sebagian kecil dari rasa sakit yang ditakdirkan untuk perempuan.
Kemudian ia bergerak bersama bayinya. Ricuh kelapa yang dihembus angin tak membendung niatnya untuk menemui seseorang. Mungkin yang ia kenal. Mungkin yang ia ketahui telah meninggalnya jauh sebelum anak ini lahir. Lantas buat apa? Pikirannya limbung. Apa ia sudah benar-benar kembali dari masa lalu? Tak ada kabar yang pasti. Yang pasti cuma rasa sakit yang tak kunjung hilang. Maka, ia hanya bisa berjalan seperti seorang badut yang selangkangannya diseka busa untuk menimbulkan efek lucu dan gendut di seluruh tubuh. Tapi kelakuannya bukan efek. Itu baru rasa sakit dari takdirnya. Bukan rasa sakit yang semestinya akan ia terima jauh ketika bumi ini terlanjur berubah menjadi akhirat.
***
Clara cukup lucu (bisa dikatakan begitu). Pipinya tembam. Seolah-olah akan meledak. Tapi ia belum diberi susu. Sehingga rengekannya cukup untuk membangunkan semua orang malam itu. Sementara ibunya sibuk dengan buah dadanya yang tak kunjung berisi.
"Sabar, ya, anakku. Clara…ck..ck…"
Sebagian dari hidup Clara memang adalah rengekan. Dan sebagian lagi adalah tidur yang nyenyak. Begitulah hingga ia bisa bicara dan mengenal banyak orang. Tapi malam itu, ia hanya diperkenalkan pada kegelapan. Karena sebenarnya Clara dilahirkan dengan mata yang tak pernah terbuka sama sekali. Atau lebih tepatnya, Clara buta! Hal itu tak disadari oleh ibunya. Karena ibunya masih mengurus buah dadanya.
Di dunia yang setengahnya adalah masa lalu, Clara menjadi bukti terpenting dalam hidup ibunya. Karena ia akan memberikan kehidupan yang panjang. Bisa makan esok harinya. Tidur di samping suaminya. Mandi dengan tenang. Lalu segera menyusui Clara ketika mereka siap bercinta. Tapi cinta seolah menghapus mimpi indah. Lalu menggantinya menjadi mimpi buruk.
Rasa yang menggebu-gebu itu segera melenyap dari ingatan ketika tiba-tiba Floren mengingat rasa yang lebih pahit. Ia lupa Clara belum mempunyai bapak. Dan jelaslah bahwa Floren juga belum mempunyai suami. Di sisi lain, ada suara yang menggerutu di dalam mulutnya. Kemudian berlanjut menjadi rengekan. Persis seperti anaknya.
"Tega kau meninggalkan aku! Rela kau membiarkan Clara! Lantas, apa maumu sebenarnya. Meremas dadaku! Mencumbu leherku! Kemudian kau akan pergi selama yang kau inginkan. Kemudian dunia akan menyembunyikanmu dari pandanganku. Lihat anakmu, Graha! Lihat! Pernahkah kau lihat Clara! Kau pernah lihat bayi buta kudekap dengan rengekan kecil meminta susu!"
Floren lagi-lagi mengangkat anaknya ke atas. Membiarkan langit mencumbuinya. Tapi hal itu dilakukannya hanya semata-mata untuk menunjukkan pada seseorang. Mungkin teman. Mungkin saja setan-setan yang mau meraba Clara sedikit.
Clara! Tubuh mungilmu mulai kaku. Dan kau tidak merengek lagi. Kau tenang sekarang. Paling tidak untuk malam ini. Karena besok pagi, kau akan merengek meminta susu lagi.
Dan lagi-lagi, Floren mengangkat bayinya ke atas. Ia tak puas. Benar-benar kurang puas kalau cuma sekedar berteriak.
"Apa aku perlu bernyanyi, ya?" katanya.
Lalu ia mulai bernyanyi dengan bayinya. Ia duduk di depan plang yang cukup besar. Tapi cukup tragis jika melihat kondisi Clara yang masih menyusui. Floren mulai meninabobokan bayinya. Meski gelap, meski ia berharap bahwa Tuhan menemu Clara dan mengambilnya. Jadi, ia berpikir akan bebas. Karena setelah itu, Floren mungkin akan melanjutkan profesinya.
Entah apa profesinya tapi ia masih ingin melanjutkannya.
"Uang di mana-mana. Uang di mana-mana. He..he.."
Kini ia benar-benar seperti orang gila.
Floren menimang-nimang bayinya. Sementara Clara sudah tidur. Sangat tenang. Tapi kemudian, ia terbangun tengah malamnya. Dan Floren melanjutkan perjalanannya mencari Graha.
Clara merengek lagi. Tapi kali ini lebih keras. Kini ia seperti drakula, Kawan. Mengerikan. Pada titik-titik tertentu, Clara dan Floren akan menemui kegelapan persis ketika mereka menutup mata. Sayangnya mereka tidak pernah menemukan mimpi. Karena sebenarnya mereka hanya berbincang seputar kehidupan. Dan Clara berbincang seputar kebodohan ibunya.
Ketika bulan menyepuh tubuhnya yang kering, Floren memaksakan dirinya untuk terus berjalan. Wajahnya sudah sangat kelelahan.
"Graha! Graha!" ia berteriak.
Begitu kuat hingga menghidupkan seluruh lampu jalanan. Membuyarkan ratusan mimpi yang sedang diputar. Boskop di atas kepala kita mengalami gangguan. Sinyal-sinyal listrik yang terpancar telah dikuasai oleh teriakan: Floren.
Saking kerasnya, seorang pria bertubuh agak tegap dan tinggi keluar rumah. Melihat sekelilingnya hingga matanya menemukan Floren dan Clara. Dipicing-picingkannya matanya karena ia merasa harus menemui mereka. Pria itu terusik dengan panggilan-panggilan Floren yang tak masuk akal ketika tengah malam terlewati.
Pria berpiyama itu berusaha mengejar mereka. Tapi di ujung jalan, ia hanya menemui kekosongan. Ketika batas kasat mata menghalau linu lampu. Dan sepanjang pandangannya, ia cuma bisa merasakan kantuk. Serta samar-samar teriakan seorang wanita yang tak diketahui arahnya. Pria itu cuma bisa kembali ke rumah. Tidur dengan mimpi yang sudah berganti.
"Floren, kau di mana?"

0 komentar:

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP