Sebutir Peluru

>> Jumat, 29 Mei 2009





Aku tahu setiap manusia pasti akan mengalami kematian. Aku juga tahu, bahwa di balik kematian akan ada kebahagian. Tapi, bagaimana jika kematian itu terlalu menyakitkan? Mungkin aku akan siap terjun bebas ke jurang. Melupakan segala hal yang rumit dalam pikiranku.
Sejenak, aku memang terdiam. Tanpa ada yang tahu, aku melamun begitu jauh. Aku tak mengerti kenapa orang-orang membaca yasin. Aku juga tak pernah tahu, kenapa orang-orang berdatangan cuma untuk membaca sebaris kata-kata asing lalu pulang tanpa ada kata.atau paling tidak ucapan duka cita. Atau apalah. Begitukah tradisinya? Aku tetap tak mengerti.
Ketika semua orang pulang, aku berlari ke dalam kamar. Menangis sejadi-jadinya. Bahkan mengutuk Tuhan tanpa ada sesuatu yang disembuyikan. Aku melempar jilbabku. Mengacak-ngacak rambutku. Berjingkrakan di atas tempat tidur.
Aku sudah gila!
Kupikir.
Tapi sanggupkah kegilaan mengalahkan kelakuanku akhir-akhir ini. Lantas kenapa perang tak pernah memberi kesempatan buat orang hidup bahagia. Kenapa perang selalu mencipta suara ribut; dan berakhir pada sebuah tangisan. Sejak tadi, ketika orang-orang membereskan rumah, aku justru membereskan diri dari linangan airmata. Begitu senyap. Kamarku sangat sepi. Aku tahu orang-orang pasti mendengar suara ribut yang kuciptakan. Tapi mereka juga tahu, sangat pantang mengetuk pintu ketika aku mengamuk.
Dalam seminggu ini, mungkin aku sudah mengamuk puluhan kali. Mungkin sudah banyak orang kukutuk. Aku bahkan tak pernah lagi menyentuh Al Qur'an. Apalagi membacanya. Tapi dalam hal-hal lain, aku malah gemar melakukannya. Seperti keluar malam. Lalu pulang keesokan harinya. Aku sering membuka jilbabku ketika kupikir perjalananku tidak terlalu jauh.
Orang-orang memang terlalu aneh melihatku. Kenapa tidak? Aku, yang dulu, begitu sopan dalam berpakaian dan berperilaku, berubah menjadi anak hutan. Seisi kepalaku terisi semak belukar. Tanpa ada benteng, aku bebas keluar masuk. Bahkan ke area-area terlarang sekalipun.
Kematian terlalu membuatku sakit hati. Juga sangat membuatku takut. Terlampau jauh dia menyeretku hingga jauh dari Tuhan. Allah Yang Maha Perkasa. Seperti yang kubilang, perang tak pernah menyisakan kehidupan. Begitu juga dengan peluru-peluru yang berdesing. Meski terjadi beribu-ribu mil dari sini, tapi desingan itu sangat mengangguku. Begitu mengangguku hingga aku terlalu sering menutup telinga. Darah-darah yang bergelimpangan; juga mayat-mayat di sana-sini membuatku takut untuk kelihat dunia. Maka, aku sangat suka menutup mata akhir-akhir ini.
Aku terlalu tenggelam dalam ketakutan akan kematian. Dalam benakku, bukankah kematian adalah hal yang umum? Bukankah kematian memang harus ada? Tapi aku berpikir lagi, kenapa harus terlalu cepat? Apakah kematian tak pernah memberi kesempatan sama sekali? Bahkan buatku?
Ibu yang terlampau sering memelukku tak pernah kucium lagi. Meski ia berulang-kali mengelus dada dan mengatakan, "sabar" terus menerus, sehingga membuatku sakit kepala.
"Banyak-banyak istighfar, ya."
"Banyak-banyak istighfar, yaa."
"Banyak-banyak istighfar!"
"BANYAK-BANYAK ISTIGHFAR!!"
Kalimat itu semakin lama semakin berubah mengerikan. Alhasil, kalimat itu kubuang. Tak sempat kubakar, maka kucampakkan saja ke bawah kolong tempat tidur. Lalu aku meninggalkannya. Berlari tanpa suara. Bahkan ibupun tak mendengarnya.
"Hidup itu jangan ditebak-tebak. Biar dia dan semua elemennya menjadi bagian dari nafasmu." Kata ibu berulang kali. Berkali-kali. Hingga bisa kukuadratkan ratusan kali. Dan membentuk penyangkalan yang sangat besar.
"Hidup kita di tangan Tuhan…"
"Hidup kita di tangan Tuhan…"
"Hidup kita di tangan Tuhan…"
"Hidup kita di tangan Tuhan…"
Dan aku membalas, " TUHAN TAK PERNAH MENGERTI HIDUPKU!"
Dan kenyataannya memang itu yang kurasakan. Desingan peluru itu masih terus terdengar. Mayat-mayat masih terus tercipta. Hingga aku bisa mencium bau busuknya. Bau yang pengap. Bau ayahku.
Hah, ayah??
Bayangannya memelukku. Siluetnya mengajarkanku pada sebuah pengendalian diri. Aku masih bisa mengingat saat-saat ia mengajarkanku bagaimana caranya beristiqamah. Menyerahkan diri pada Allah saat aku sudah lupa dengan tubuh sendiri.
Lantas kenapa saat ini aku lebih suka bertindak sesukanya? Kenapa ayah tak pernah mengingatkanku soal istiqamah? Akhir-akhir ini aku memang suka mengucapkan kalimat seenaknya.
"Jika perang tak pernah usai, maka tamatlah Tuhan." Kataku.
"Kenapa kamu bicara begitu?"tanya ibu.
"Sangat jelas 'kan, Bu. Kalau Tuhan tak memahami kehidupan kita."
Ibu mengelus dada, "Masya Allah. Istighfar. Istighfar. Kematian ayah, bukan satu-satunya alasan untuk menyalahkan Tuhan. Bahkan Allah tak pernah pantas disalahkan."
"Jangan terlalu teoritislah, Bu. Juga jangan terlalu agamis. Hidup itu berjalan sesuai apa yang kita mau. Begitu seharusnya. BEGITU SEHARUSNYA!"
Aku pergi! Berlari… Hingga aku kehilangan arah. Aku lupa membawa kunci ketika aku pergi. Tapi tak terlalu kupikirkan. Kunci adalah satu-satunya alasan untuk menjadi orang bodoh. Dan arah terlalu memberi pilihan yang sulit. Sehingga aku harus jeli dalam menentukan. Antara hitam dan putih. Kiri dan kanan. Dan apapun itu. Tapi aku justru memilih abu-abu.
Akhhh…..!
Satu-satunya alasan aku pergi dari rumah adalah karena rumah bukan tempat yang tepat untuk mengutuki dunia. Aku semestinya pergi ke daerah tinggi. Berdiri di tepi jurang. Lalu, ketika angin berhembus kencang, maka aku akan siap untuk memaki dunia.
"Kau renggut ayahku!!" aku menangis sejadi-jadinya.
"Lihat, dunia. Lihat!" kataku sambil memegang sebutir peluru, "kalian bisa mencium darah dari peluru ini. Inikah yang dinamakan keadilan!"
Aku berlutut, “mungkin kalian senang dengan kematian? Apa hubungan kalian dengan kematian, hah? Kenapa kematian tak pernah memberikan kebahagian? Kenapa mesti ada kematian?
Dan aku tercampak. Pada area-area gelap. Masa lalu penuh dengan tantangan. Bukan! Masa lalu penuh kebiadaban. Tapi aku mencoba keluar. Paling tidak, aku mencobanya ketika aku mulai menyadari bahwa hidup bukanlah satu-satunya tujuan untuk menyalahkan Tuhan. Mencoba untuk memilih alasan yang tepat untuk mengakhiri erosi yang menggerus kepercayaanku padaNya. Ketika masa silam kembali menyapaku. Dan mungkin, kali ini, aku akan merasa terombang-ambing.

***

"Tidurlah yang nyenyak. Besok pagi, kita tahajjud bareng." Kata ayah.
Di atas ranjang itu, aku merasakan kenyamanan. Kenyamanan yang teramat sangat. Sehingga–mungkin–aku lupa bahwa cobaan itu selalu hadir pada setiap manusia. Pelukan itu dan ciuman itu. sangat hangat bila aku mencoba untuk mengingatnya lagi. Membuatku tak pernah bangun bahwa hidup selalu menyimpan rahasia. Dan membukanya saat kita berada pada posisi-posisi paling kritis.
Ayah yang baik. Ayah yang selalu memuji. Juga ayah yang selalu mengingatkanku. Begitu polos wajahnya hingga aku sadar bahwa ia terlalu perih buat dilupakan.
Ayah selalu menasehatiku agar selalu raja' pada Allah. Yaitu mengharap kepada Allah untuk sampai ke jalanNya. Jalan yang terang. Penuh keabadian. Penuh cahaya dan kita tak pernah bisa menciptakan cahaya sehebat buatan Allah.
“Allah itu selalu memberikan kemudahan bila kita memudahkan agamaNya.”
Itu kata ayah.
Tapi dulu. Dulu. Dan sudah bertahun-tahun lalu, hingga akhirnya aku harus berpisah di bandara dengannya.
"Nggak usah terlalu mendramatisir keadaan. Ayah cuma pergi sebentar, kok."
Dan ternyata, kata 'sebentar' itu bukan merupakan sebuah denotasi. Justru kata itu adalah metafora dari keadaan yang sebenarnya. Hidup di dunia memang terlalu sebentar ketika kita membandingkannya dengan waktu akhirat. Dan itulah yang menjadikan kata 'sebentar' menjadi metafora yang mampu membohongiku. Juga banyak orang yang menyayangi ayah. Juga kehidupanku selanjutnya. Dan aku memang telah lama menjadi anak kecil. Sehingga sulit melepaskan diri dari kemandirian.
Sampai pada suatu ketika, aku akan benar-benar menangis mengetahui bahwa ayah sudah tewas. Ia dikembalikan ke Indonesia dengan tubuh penuh lubang. Wajah diselipi debu yang hanya bisa kulihat sendiri. Satu bentuk kemandirianku yang pertama. Sebuah bentuk dimana akan terasa sangat pedih ditinggal orang terkasih. Dan itu berimbas pada keyakinanku akan takdir.
Aku pikir, takdir selalu membuat orang kesusahan. Aku pikir, orang akan bermatian karena takdir. Sehingga aku harus membenahi diri untuk menghadapi takdir yang mungkin akan lebih merepotkan.
"Sabar, Almira. Banyak-banyaklah berdoa kepada Allah. Ayahmu akan tenang di sana." Kata Safria, sahabatku.
Safria adalah orang dulu mesti kuhindari. Ya. Sangat kuhindari karena ia akan selalu menceramahiku. Membosankan. Tapi ketika aku dalam kesulitan, justru Safria menjadi orang yang paling kucari. Seperti ketika aku benar-benar berada di ujung tanduk. Ketika tepi jurang tak memperbolehkanku untuk berdiri tegak. Aku benar-benar kecarian seorang Safria.
Suaranya bergemuruh di dalam batinku. Ucapannya mengenai kebesaran Allah tertancap dan tak bisa lepas dari pikiranku. Mungkin ia bisa mengantarku mencari kunci pintu rumah yang hilang. Sehingga aku bisa masuk, membaca Al Qur'an, dan shalat berjama'ah dengannya.
Lalu aku akan kembali menjadi orang dewasa seutuhnya.
Tapi di mana Safria saat aku mencarinya? Sementara aku makin terselubung oleh kegelapan. Jurang itu semakin menggeserku. Semakin menggoyahkan sikapku. Lalu, apa aku harus berdoa? Tapi aku tak tahu bagaimana cara berdoa. Justru Safria yang dulu mengajarkanku berdoa. Tapi ia tak ada di mana-mana.
Kenapa?
Lho, kenapa aku malah terjerumus ke dalam gua. Padahal cobaan yang aku hadapi tak semenyakitkan itu. Toh, semua orang akan menyaksikan kematian. Bahkan mengalaminya. Lantas di mana kepalaku saat aku mesti berpikir tentang orang lain yang mengalami cobaan yang lebih berat dariku?
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri, "di mana kepalaku?"
Kemudian ada sesuatu yang menjawab, "cobalah cari. Kau masih ingat pada Allah, 'kan?"
"Ya." Kataku.
"Maka, cari dulu Allah. Maka kau akan ingat di mana kau meletakkan kepalamu. Dan kau bisa memulai memikirkan orang lain."
Lalu aku berkata, "masalahnya., aku tak tahu bagaimana caranya mencari Allah. Bisa kau tunjukkan jalannya kepadaku?"
"Terlalu sulit, Almira. Kau yang menentukan jalanmu, 'kan. Kau bilang, hidup harus sesuai dengan yang kau inginkan. Maka, buatlah jalan sesuai yang kau inginkan."
Aku menjerit! "Nggak. Aku nggak bisa sama sekali! Tolong! Tolong aku!"
"Jangan biarkan jalanmu masuk ke jurang. Tentukan arah. Tentukan arah." Dan perlahan suaranya menghilang.
Aku bergeming. Sebenarnya, siapa sebenarnya Allah. Kenapa aku pernah mendengarnya. Bagaimana bentuknya? Apa dia? Tuhankah? Atau apa? Tak ada orang yang memberitahuku. Aku sudah jauh dari ibu.
Apa kematian harus berimbas semenyakitkan ini?
Ini sangat sulit.
Sementara itu, aku terus melanjutkan pencarianku mengenai Safria. Kini, sampai di mana aku? Sunyi selalu menghambatku mencari Safria. Mungkin karen aku tak pernah memegang kunci. Betapa menyesalnya aku. Kenapa aku tak membawa kunci itu ketika aku pergi?
Rupanya, aku meninggalkannya di dalam rumah. Ah! Melelahkan. Aku harus kembali ke rumah. Berjumpa dengan ibu lagi. Malunya aku… Aku merasa malu karena menjadi liar. Bahkan aku menjadi bodoh. Lalu, aku berpikir lagi. Jika kunci itu kutinggalkan di dalam rumah, lantas bagaimana aku mengambilnya?
Ah!
Berpikir!
Berpikir!
Berpikir!
Apa yang mesti aku lakukan?
Apa aku harus mendobrak pintunya? Tapi rumah ibu bisa hancur. Aku sama sekali tak mempunyai hak atas rumah itu. Cuma ibu. Tapi aku tak mungkin menemukan kunci tanpa masuk ke dalam rumah.
Lagipula rumah terlalu jauh buat kujangkau. Tanpa kepala. Tanpa sesuatu yang dapat kugunakan untuk melihat arah. Aku kacau.
AKU KACAU!!
Berpikirlah Almira! Berpikir.
Ke mana otakku yang jenius? Oh, iya, ia kutinggalkan di dalam kepala.
Ya ampun. Aku benar-benar dalam masalah sekarang. Kenapa aku bisa bertindak bodoh. Ayah, tolong aku. Tolong aku!
Kemudian, aku mendengar suara gemerincing dari atas. Suaranya sangat memekakkan telinga. Aku hampir terduduk karena tak tahan mendengar suaranya. Lalu tiba-tiba, suara ayah terdengar.
"Memintalah pada Allah. Memintalah pada Allah."
Suara itu menghilang.
'meminta pada Allah'.
Kalimat itu menembus dadaku hingga jantungnya berdebar. Gederam yang sangat asing berkelebat di dadaku. Desingan peluru. Darah-darah yang memuncrat serta rasa benciku pada nama Itu.
Apakah itu yang dinamakan setan?
‘MEMINTALAH PADA ALLAH’
‘MEMINTALAH PADA ALLAH’
‘MINTA PADA ALLAH ALMIRAAA!!’
Teriakku dalam hati.
Benarkah itu harus kulakukan? Sementara aku sudah lupa dengan Allah. Akankah Allah mengabulkan permintaanku? Sementara aku sudah jauh meninggalkannya.
Setelah cukup lama berpikir, tanpa kusadari, aku telah bersimpuh. Embun menyemai pipiku hingga basah kuyup. Embun yang tak biasa. Inikah tangisan karena mencintai Allah? Begitu nikmat. Tak senikmat tangisan ketika aku meratapi kematian. Mungkin inilah jawabannya. Aku menengadahkan kedua tangan. Aku berbicara, tapi aku tak mendengar suaraku. Cuma dadaku yang bisa kurasakan berbicara dengan Allah. Allah Yang Maha Pengampun. Allah Yang Maha Pengasih.
Aku memang tak menemukan kunci saat pintu terbuka. Tapi aku menemukan kunci yang sebenarnya. Kunci, yang pada akhirnya, dan selama-lamanya kusebut ia sebagai Allah. Kunci dalam metafora keabadian. Bahkan kunci itu tak hanya membukakan rumah, dan mempertemukanku dengan ibu dalam keadaan bahagia.
Aku juga menemukan Safria.

Lubukpakam, 2008

0 komentar:

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP